Notification

×

Iklan

Iklan

Rindu Itu Luka

Kamis, 30 Januari 2025 | 9:34 AM WIB | Di Baca 0 Kali Last Updated 2025-01-30T01:35:13Z
Oleh : Costa Ironi YT
Swiss pernah menjadi bagian dari Perancis. Mungkin saat itu Swiss ada sebagai jajahannya Perancis. Saya pernah mendengar bahwa Perancis pernah menjadi sebuah kekaisaran. Kekaisaran ini bersambung riwayatnya ketika terjadi Revolusi Perancis pada abad ke-17. Berdadarkan faktum historis ini, kita bisa menduga kemungkinan besar Swiss ada sebagai bagian dari kekaisaran Perancis.

Sebuah konsekuensi logis tidak terelakan bisa dibayangkan. Dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya Perancis adalah juga diderita dan ditanggung oleh Swiss. Pada tahun 1688 pecah perang antara Perancis dan Belanda. Swiss yang menjadi bagian dari Perancis sudah barang tentu berpartisipasi dalam perang ini. Banyak tentara Swiss pergi ke sana. Mereka pergi meninggalkan tanah yang dari setiap butir debu menopang setiap derap langkah mereka. Mereka pergi meninggalkan keluarga yang bersama mereka, setiap peristiwa hidup dikisahkan sebagai pengalaman dan akhirnya diberi nilai (epistemologis, etis, estetis, dan teologis).

Jarak antara Belanda dan Swiss saat itu kira-kira 957 KM. Dibayangkan pada saat itu, inovasi teknologi transportasi belum secanggih saat ini. Untuk saat sekarang, jarak semacam itu hanya bisa ditempuh dalam hitungan menit bila kita menggunakan kereta cepat dan pesawat. Tapi tidak dengan saat itu, berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan mungkin menjadi waktu tempuh. Kita bisa menduga posisi dan disposisi tentara Swiss yang sedang berperang atas nama Perancis di Belanda, yakni rindu yang mendalam pada tanah dan keluarga sudah pasti. Berada jauh dan terpisah dari orang-orang terdekat melahirkan keterasingan yang ekstrim.

Keterasingan yang ektrim konon lahir dari rindu yang tak pernah terobati. Lalu, apa implikasinya? Depresi, kesulitan tidur, hilang nafsu makan, dan buyar konsentrasi menjadi penyakit alamiah. Rindu yang kuat ternyata berbahaya. Dalam konsteks psiko-sosial dan psiko-somatik yang demikian, terminologi “NOSTALGIA” pertama kali digunakan. Adalah Johanes Hoffer, pengemukanya. Ia menggunakan term ini untuk membahasakan gangguan psiko-sosial dan psiko-somatik yang diderita oleh tentara Swiss di Belanda.

Kata nostalgia seyogianya berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni Nostros dan Algos. Nostros memiliki arti Kembali ke rumah atau jalan pulang. Dan algos yang berarti sakit. Sudah sepatutnyalah kalau bernostalgia itu sakit karena kita sebagaimana dialami oleh tentara Swiss. Mereka sulit untuk pulang kembali ke ke keluarga dan tanah air yang setiap etalasenya melahirkan kedamaian. Sakit ini akan semakin parah ketika jalan pulang untuk sejenak merayakan atauapun mengulang kembali kisah-kisah indah berupa tawa dan tangis yang melahirkan sukacita sejenak di tengah hambatan dan himpitan hidup.

Sampai pada poin di atas saya jadi memahami mengapa seorang kerabat menasehati saya, “Jangan sia-siakan waktu dan kesempatan yang ada dengan orang-orang terdekat. Selagi masih diberi kesempatan untuk membahagiakan mereka, berikanlah perbendaharaanmu yang terbaik sebelum ada penyesalan yang melahirkan sakit dan luka. Karena ketika mereka pergi untuk tidak kembali, tujuh kerbau dan tujuh babi yang dibantai, seongok daging pun tak akan mereka cicipi.”

Selepas mereka jauh, yang ada hanya sesal dan syukur. Orang menyesal karena tidak cukup memaksimalkan waktu dan kesempatan yang ada untuk memberi yang terbaik. Syukur tentu muncul karena sebaliknya.

Ada pergi yang dapat pulang, namun ada yang pergi untuk selamanya. Dan nostalgia pada keduanya memiliki kadar tertentu pada kehidupan yang dijalani. Kendatipun demikian sakit adalah hal alamiah dari nostalgia.

Saya tidak bisa membayangkan sakit dan luka yang diderita oleh tentara Swiss ketika membayangkan kebersamaan yang dirajut dengan keluarga dan kedamaian yang ada. Di Belanda, yang mereka dengar hanyalah dentuman peluru dan rudal yang berterbangan ke sana dan ke mari. Di dalam situasi, itu rindu suara anak-anak dan suara istri yang memanggil dengan penuh kelembutan meruak dan memanggil pulang. Sebuah pengalaman primordial bagaimana kedamaian dicipta dan cinta dirayakan dengan kesederhanaan.

Gagasan di atas adalah sebuah kemungkinan yang lain. Di dalam perang, yang dihadapi sebagai kemungkinan yang hakiki adalah kematian. Di dalam situasi tapal batas, penyesalan mungkin ada. Aku mungkin telah menyiakan anak dan istriku dan telah menyiakan tanah yang dari setiap butir debunya kakiku tertopang. Mungkin batin mereka adalah demikian.

Histori tentara Swiss di atas memberi kerangka reflektif bagi kita bahwasannya rindu itu selalu melahirkan sakit dan luka kala penyian-nyiaan terhadap tanah dan orang-orang terdekat menjadi praksis keseharian. Ketika pergi dan tidak kembali, tujuh sapi dan tujuh babi yang dikorbankan padanya menjadi sia-sia, karena yang menikmati adalah mereka yang tinggal. Yang pergi seongok untuk sekadar dicicipi pun tidak. Adalah lebih baik, perbendaharaan yang terbaik diberikan sebelum kebersamaan berubah menjadi sekadar histori sebagaimana dibayangkan oleh para tentara Swiss ketika merindu orang-orang terdekat dan tanah mereka.

Oleh : Costa Ironi YT

×
Berita Terbaru Update