Kosta Ironi |
Sunyi dan senyap kala untuk sesaat orang-orang menenangkan diri untuk sejenak sebelum merayakan kedatangan sang pangeran kedamaian.
Tatanan yang dirindukan. Dimaklumi, ambisi untuk menjadi “Ubermensch” di Eropa, membuat kehidupan identik dengan bunyi artileri, meriam, desingan peluru yang bergerak ke sana dan ke mari, dan lain sebagainya. Perang Dunia I menjadi sebab musababnya.
Ubermensch, sebuah term teknis filosofis Nietzsche. Ada berapa terjemahan untuk kata ini, yakni manusia super power, manusia perkasa, dan manusia yang melampaui. Saya sendiri bingung mau memakai yang mana.
Perang dunia I tentu memperlihatkan secara jelas arogansi dan ketamakan beberapa manusia, misalnya seperti Hitler, Mussolini, dan Hirohito, serta beberapa lainnya yang jauh dari penglihatan histori manusia. Manusia-manusia ini adalah Ubermensch yang naif. Kepentingan sesaat membutakan nurani untuk melihat jauh ke depan.
Momentum natal kala itu menjadi masa jeda bagi bunyi tak beraturan yang merongrong kedamaian dan keharmonisan manusia. Perang dunia I memperlihatkan lagi bahwa distingsi antara aku dan kamu semakin menjadi-jadi. Masa jeda saat itu menginspirasi untuk melihat bahwa realitas kemanusiaan tidak bisa dilihat dan dipahami dari perspektif suku, agama, negara, dan berbagai korelat lain yang ditambahkan untuk mendekorasi manusia. Dengan jeda untuk sesaat, kita bisa tahu bahwa kemanusiaan lebih luas dari keakuan yang kuat.
Soegijapranata menuturkan, kemanusiaan itu satu kendati ada banyak pembedaan yang ditambahkan. Natal, Sang Pangeran kedamaian dirayakan kelahirannya menunjukan bahwa dalam perspektif teologis, realitas kemanusiaan terlepas dari segala amburadulnya dan bobroknya adalah kudus dan mulia. Karena demikian Allah mau hadir bagi manusia di dalam kondisinya yang paling hina, yakni kandang, lampin, dan palungan.
Kemanusiaan kita sedang memasuki sebuah era yang sangat cair. Byung Chul Han menulis dua buku yang sangat istimewa, yakni Burnout Society dan Self-Achievement Society. Dari dua buku ini kita jadi memahami bahwa kita hidup ketika prestasi secara sosial, ekonomis, dan cultural menjadi alat ukur untuk melihat, mengevaluasi dan mendevaluasi kemanusiaan seseorang. Implikasinya subjek mengeksploitasi dirinya sepanjang waktu demi memenuhi kriteria di atas.
Dalam siklus hidup yang demikian, natal hanya akan menjadi sebuah rutinitas belaka. Natal kehilangan daya kuratif dan daya terapeutiknya bagi nurani dan nalar yang terpenjara oleh hasrat untuk mencapai ini dan itu. Hitler dan kawan-kawannya menunjukan kebenaran ini.
Dalam kacamata demikian, adalah ideal mari kita ke Betlehem. Sebuah metafora tentang ketenangan dan keheningan. Di sana hanya ada Maria, Yosef, Para Gembala, dan sekawanan domba. Mereka terkesima dengan bayi mungil Yesus. Mungkin dengan ke sana kita bisa meredefenisi dan meredeskripsi paradigma dan praksis hidup yang diyakini hingga saat ini. Pengalaman ini dialami oleh tiga raja dari Timur setelah berjumpa dengan bayi Yesus.
Mungkin dengan demikian kita bisa menjadi seperti Josef Mohr, pengarang lagu malam kudus. Dalam kebingungan untuk mementaskan apa pada malam natal di Gereja Sto. Nicholas di Obendorf di Austria.
Dalam kekalutannya, ia berjalan menyusuri sudut sudut ruang Odendorf. Perjalanan ini membawanya sampai pada sebuah puncak bukit. Dari sana ia memandang kampung yang tertutup salju di 23 Desember. Bukit dan salju dan natal menjadi sebuah etalase yang memanggilnya pulang pada sebuah puisi yang pernah dikarangnya. Puisi itu menjadi cikal bakal lahirnya lagu malam kudus.
Natal yang dirayakan dengan demikian membawa kita menyadari sesuatu yang pernah ada dan sesuatu yang mesti ada, dan sesuatu yang hilang.
Costa Ironi YT