Kampung Adat Tuaninu (dok: Istimewa) |
Pada pagi yang cerah di perbukitan Tuaninu, masyarakat adat bersemangat menyelesaikan tahap akhir pembangunan rumah tradisional dengan atap dari alang-alang. Kampung adat ini bukan hanya tentang rumah, namun juga menyimpan kearifan budaya dan nilai luhur yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi.
Sejarah dan Filosofi Rumah Adat Tuaninu
Tradisi pendirian rumah adat di Kampung Tuaninu telah berlangsung selama berabad-abad. Pada masa lalu, ritual pendirian rumah adat melibatkan kurban manusia, tetapi seiring perubahan zaman, tradisi tersebut telah beralih ke kurban hewan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Setiap keluarga besar Tuaninu bersatu padu menyediakan hewan kurban sesuai kemampuan masing-masing suku, yang tulangnya digantung di dalam rumah adat sebagai pengingat akan leluhur dan doa keselamatan bagi penghuninya.
Ritual Sakral di Bawah Pohon Beringin
Pohon beringin besar yang kokoh di tengah desa menjadi saksi bisu dari setiap ritual. Di bawah beringin inilah kurban disembelih, sebagian dagingnya direbus untuk dipersembahkan kepada leluhur agar proses pembangunan berjalan lancar dan penghuni rumah diberkati. Keberadaan pohon ini tidak hanya sebagai simbol, tetapi juga dianggap pelindung desa dari niat jahat orang luar, di mana diyakini mereka yang berniat buruk tidak akan mampu melewati beringin tersebut.
Arsitektur Unik dengan Atap Bentuk Perahu Terbalik
Atap rumah adat Tuaninu berbentuk perahu terbalik, merefleksikan cerita asal muasal desa yang konon berasal dari kapal karam di bukit tersebut. Rumah-rumah ini dibangun memanjang dengan tiang pancang sebagai pondasi, dinding dari papan kayu, dan atap alang-alang, menciptakan kehangatan dan harmoni dengan alam sekitar. Masyarakat adat hidup rukun dan penuh toleransi, bersama-sama membangun dan menjaga warisan leluhur mereka.
Peran Penting Perempuan dalam Adat Tuaninu
Dalam masyarakat Tuaninu, perempuan memiliki peran sentral sebagai penjaga rumah adat, sementara kaum pria dilarang menjaga rumah tersebut. Sistem matrilineal ini menempatkan perempuan pada posisi yang lebih tinggi dalam struktur keluarga, meskipun tugas memasak dan peran domestik lainnya tetap dijalankan oleh para perempuan tangguh di desa ini.
Kepercayaan dan Adat yang Terus Dijaga
Meski masyarakat Tuaninu kini memeluk agama Katolik, unsur kepercayaan dan adat istiadat masih sangat kental. Mereka masih memegang teguh aturan-aturan adat, seperti larangan keluar masuk desa sebelum dan setelah pukul 6, serta keharusan menggunakan pakaian tenun dari kapas bagi yang memasuki rumah adat sakral.
Tradisi yang Tetap Hidup di Era Modern
Di tengah kemajuan zaman, masyarakat Kampung Adat Tuaninu tetap setia melestarikan tradisi dan nilai leluhur mereka, memastikan warisan ini tidak tergerus oleh waktu. Meski listrik belum menjangkau desa, semangat dan kebersamaan mereka tetap menyala terang. Selesai makan bersama, biasanya dilanjutkan dengan tarian tebe sebagai bentuk syukur atas berkah dan kehidupan yang terus mengalir.
Kampung Adat Tuaninu di Kabupaten Malaka ini adalah simbol perlawanan terhadap modernisasi yang mengancam kearifan lokal. Di sinilah nilai-nilai tradisi masih hidup, menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda untuk terus menjaga akar budaya mereka.**