Opini oleh Yefry Elu |
Tak lama, Yesus ditangkap oleh tentara Romawi, difitnah, disiksa lalu mati di kayu salib. Konon, Yudas menyesali perbuatannya. Ia pun memilih untuk bunuh diri. Kini, kata “ciuman Yudas” menjadi identik dengan pengkhianatan yang diselubungi kehangatan.
Sejarah Khianat
Indonesia pun sudah kenyang dengan pengkhianatan. Beragam kerajaan lahir dan jatuh di tangan pengkhianat. Tradisi leluhur dibuang, dan digantikan dengan tradisi kematian dari tanah gersang. Pengkhianatan Suharto terhadap Sukarno yang berbuah kematian jutaan orang, akibat fitnah dan tekanan penguasa asing. Kini, cita-cita reformasi dikhianati oleh para penguasa busuk, yakni kelompok orang-orang kaya yang berpolitik kotor, dan dinasti politik yang sedang mengembangkan sayapnya.
Pilkada 2024 di TTU pun dimulai dengan pengkhianatan. Para penegak hukum mengingkari sumpahnya sebagai penjaga konstitusi. Calon bupati busuk bersedia melakukan segalanya untuk memuaskan dahaga kerakusannya. Politisi licik tak mampu menahan nafsu kuasa yang bergejolak di dadanya. Rakyat kembali tertipu oleh manuver penguasa busuk yang pintar memoles diri lewat kata dan media sosial.
Berkhianat memang merupakan ciri dasar dari politik. Lihatlah sejarah manusia. Di berbagai tempat, mulai dari Kekaisaran Romawi sampai dengan Kekaisaran Cina, putra mahkota berkhianat terhadap ayahnya, dan melahirkan tirani baru. Saudara dan sekutu saling menumpahkan darah dengan fitnah dan tipu muslihat untuk mencicipi kursi kekuasaan.
Hidup pribadi pun tak asing dari pengkhianatan. Saya sendiri sudah berulang kali mengalaminya, mulai dari kisah cinta yang retak sampai pengkhianatan di dunia kerja. Berkhianat tidak hanya menjadi ciri politik, tetapi juga ciri hidup. Ia adalah bagian dari kisah abadi manusia yang penuh dengan gejolak.
Ontologi Pengkhianatan
Pengkhianatan adalah sebuah tindakan paradoksal. Di satu sisi, ia mematahkan kepercayaan yang diberikan. Ada rahasia dan manuver yang dilakukan di dalam kesunyian. Di sisi lain, pengkhianatan harus dilakukan secara publik. Rakyat luas mesti tahu, bahwa pengkhianatan sudah terjadi. Publikasi dari pengkhianatan adalah dasar politik bagi rezim penguasa berikutnya.
Ada empat hal terkait pengkhiatan. Pertama, orang berkhianat, karena ia rakus. Dahaga akan kekuasaan dan kenikmatan bergejolak kuat di dalam dirinya. Ia pun tak mampu menahannya, dan menjadi korban dari hasrat-hasrat liarnya sendiri.
Dua, dahaga akan kekuasaan itu kenikmatan bergejolak di diri semua orang. Hanya manusia bodoh yang tak mampu menahannya. Ia tak paham dirinya sendiri, dan hakekat dari dunia yang ia tempati. Ia hanyut dalam putaran derita yang menyiksa tidak hanya dirinya, tetapi juga orang-orang sekitarnya.
Tiga, Julian Nida-Rümelin, pemikir Jerman, menyebut ini sebagai lemahnya kehendak (Willensschwäche). Orang tahu apa yang baik, tapi tak mampu menerapkannya. Ia tunduk pada tekanan sosial, maupun pada dahaga kehausan akan kekuasaan serta kenikmatan di dalam dirinya. Para pemikir Yunani Kuno menyebutnya sebagai Akrasia.
Empat, dari sudut pandang teori transformasi kesadaran, pengkhianat adalah manusia dengan tingkat kesadaran paling sempit dan rendah. Ia menghidupi kesadaran distingtif-dualistik yang melihat orang lain tidak hanya sebagai berbeda, tetapi sebagai alat untuk memuaskan hasrat kekuasaannya. Secara pribadi, ia disiksa oleh nafsu untuk berkuasa yang merusak keseimbangan hidupnya. Dampaknya, tindakannya pun juga merusak keseimbangan hidup orang-orang sekitarnya.
Diktum para pengkhianat: aku berkhianat, maka aku ada. Berkhianat adalah penegasan diri manusia-manusia lemah. Untuk membuktikan keberadaannya, ia membuat manuver licik dan busuk. Manusia-manusia kuat cukup puas dengan keberadaan dan karyanya, serta sama sekali tak perlu berkhianat untuk mencapai tujuannya.
Ada 5 hal yang di tawarkan?
Ada lima hal yang kiranya bisa dilakukan. Pertama, kita tidak perlu kaget. Drama pengkhianatan sudah setua sejarah peradaban itu sendiri. Bisa dibilang, berkhianat adalah perilaku khas manusia yang tak perlu lagi membuat kita terkejut. Perilaku semacam ini tak ditemukan di mahluk hidup lainnya.
Dua, sebagai bagian dari warga negara demokrasi, kita perlu terus bersuara. Sikap kritis perlu ditunjukkan. Argumentasi yang bermutu mesti terus disampaikan ke masyarakat luas. Mengutip pemikiran Jürgen Habermas, pemikir Jerman, demokrasi harus terus menjadi ajang adu kekuatan argumen lewat proses komunikasi yang terbuka dan berkelanjutan.
Tiga, sikap politik yang harus diambil pun jelas. Pengkhianat tidak bisa menjadi pemimpin di TTU. Ketika waktunya tiba, rakyat harus bersikap jelas, dan menolak untuk memilihnya. Siapapun yang memimpin TTU ini harus memiliki rekam jejak yang memadai dan, sedapat mungkin, bersih. Pengkhianatan yang berbuah petaka bagi pelakunya harus menjadi pelajaran bersama bangsa kita.
Empat, sebagai pribadi, kita perlu terus berbenah. Dalam arti ini, kita perlu terus mengembangkan dan membuat kesadaran kita seterbuka mungkin. Kita mesti melihat seluruh alam semesta sebagai bagian tak terpisahkan dari diri kita sendiri. Hanya dengan begitu, kebijaksanaan bisa mengalir secara alami dari setiap tindakan yang kita lakukan.
Lima, sambil terus berbenah diri, sistem politik pun harus terus dikembangkan. Sistem akuntabilitas politik harus terus dibangun. Penguasa didorong untuk terus membangun dalam kontrol kritis rakyat. Di dalam keadaan itu, para pemimpin masa depan dididik dan bekerja untuk perkembangan bangsa dengan kesadaran seluas semesta.
Ciuman Yudas tak hanya sekali terjadi. Ia terjadi sekarang di 2024, dan akan terus terjadi di masa depan. Itulah salah satu ciri mendasar yang melekat pada politik kekuasaan dunia. Kita hanya perlu menyingkapinya secara bijak, dan terus mengembangkan kesadaran di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh drama.
Penulis: Yefry Elu