Budaya Suku Helong NTT. (Foto: Istimewa). |
Timorexotic.com|| Helong sebenarnya dari Nusa Ina, nama lain dari Pulau Seram. Seram merupakan pulau yang berada pada gugusan kepulauan Maluku. Pulau Seram luasnya 18.625 km2 dengan panjang 340 km dan lebar 60 km. Pulau ini digambarkan memiliki alam yang subur, dengan hutan tropis. Puncak tertinggi di sana bernama Gunung Binaiya. Awalnya etnis Helong berdiam di Pulau Seram. Secara asal usul kata, Helong berasal dari kata he yang berarti jual dan lo berarti tidak.
Kata helo berarti tidak dijual. Secara umum, kata heloberarti pengorbanan atau rela berkorban. Filosofi etnis Helong diyakini mewarisi sikap sedia berkorban dan tidak rela kalau lingkungannya diganggu. Jika diganggu, maka dia berbalik membalas. Pulau Semau acapkali disebut Bung Tilu (tiga kembang).
Terungkap makna, "Semau tidak dijual." Perjalanan suku-suku arkais yang mengikuti saja rakit membawa mereka ke mana. Di tempat mereka terdampar, di sanalah mereka memulai kehidupan baru. Rombongan Helong yang keluar dari Seram tidak diketahui pasti berapa jumlahnya. Bertindak sebagai pemimpin kala itu adalah Lai Topan yang tugasnya sebagai perintis jalan yang didampingi Lai Tabun.
Konon, Koen Lai Bissi dan Lissin Lai Bissi dikisahkan tetap memimpin mengarungi Laut Banda yang luas serta gelombangnya yang dahsyat. Setelah mengarungi lautan ganas menggunakan rakit dan tanpa kompas akhirnya, kelompok itu mendarat di Amboka/Tutulata, ujung timur Pulau Timor. Terjadi peristiwa misterius yang dialami Koen Lai Bissi saat mandi berendam di Pantai Amboka. Dia tiba-tiba berubah menjadi seekor buaya. Alhasil, rombongan yang melintasi daratan menuju ujung Barat dipimpin oleh Lissin Lai Bissi.
Perjalanan yang cukup memakan waktu dan lintas generasi ini akhirnya tiba di bagian barat Pulau Timor dan membentuk dua perkampungan tradisional yakni Kaisalun(Fatufeto) dan Bunibaun (Bonipoi). Dalam penuturan Buku Koepang Tempo Doloe keturunan Raja Bissing Lissin yakni Koen Lai Bissi yang memimpin etnis Helong. Jejaknya terdapat pada Sonaf yang dikenal dengan Sonaf Koe Pan. Nama Kupang sebenarnya bermetamorfosa dari nama Koe Pan, nama sonaf/istana Helong. Etnis Helong memiliki Bahasa ibu yang dinamakan Bahasa Helong. Sekarang, penyebaran etnik ini di Pulau Timor di antaranya di Pulau Semau, Kolhua, Bi Upu, Ui Hani, Uilautsala, Kuan Boke, Bismarak, Bolok, Binael, alak, Boenana, Uimatnunu, Uilesa, dan sebagian tablolong dan Klaibe. Suku Helong memiliki kebiasaan mengungkapkan syair-syair untuk memperkuat hubungan persaudaraan di antara mereka. Syair itu biasanya dituturkan oleh tetua adat dengan bahasa yang halus dan puitis untuk mengungkapkan kenyataan hidup.
Ungkapan-ungkapan itu acapkali diberi bumbu mitos. Syair-syair adat ini penting untuk membuka usul-asal yang suku yang bersangkutan. Referensi dari penuturan genealogis ini menjadi penting dalam penuturan sejarah. Syair-syair itu biasanya diungkapkan dalam upacara pelepasan jenasah, peristiwa perkawinan atau masa panen. Dalam syair-syair itu terungkap kisah marga. Kadang- kadang penuturan kisah-kisah marga itu bervariasi atar satu marga dengan yang lainnya. Apalagi umumnya budaya ketimuran jauh dari tradisi tulisan. Tradisi lisan seperti penuturan menjadi referensi untuk mengungkapkan sejarah. Namun tradisi lisan ternyata lebih kuat karena hidup dalam aspek sosial tiap etnik. Luitnan telah berhasil mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah Helong dalam bukunya.
Di pulau Semau ini juga terdapat pantai yang indah dengan fasilitas cottage yang baru diresmikan. Dinamai pantai Liman karena di dekat pantai ini ada sebuah bukit yang oleh masyarakat sekitar di kenal dengan nama bukit Liman. Memandang ke segala arah dari atas bukit liman menimbulkan sensasi keindahan yang luar biasa. Semau juga memiliki pantai indah lainnya yaitu Otan. Pantai yang landai ini memiliki garis pantai yang sangat panjang, Pantainya sendiri berpasir putih dan memiliki riak ombak yang tidak terlalu besar.
Puncak penjelajahan Pulau Semau ialah Pantai Liman yang merupakan pantai terpanjang di pulau ini, pantai dengan hamparan pasir putih halus. Keindahan pantai tampak jelas dari ketinggian Bukit Liman. Bukit ini punya kemiringan hingga 30 derajat, dan ketinggian mencapai sekitar 160 meter. Perlu stamina untuk mendaki bukit Liman, atau kemahiran berkendara roda dua karena trek berpasir yang licin dan curam belum ada pembatas. Namun pemandangan dari puncak bukit Liman memang memukau dan layak diperjuangkan, apalagi pada saat Sunset.Tepat di tengah cakrawala tampak pulau Tabui yang misterius, karena yang tampak hanya bidang datar kehitaman. Kami meninggalkan bukit Liman seiring cahaya matahari terakhir yang mulai pudar.
Editor: Nixon Tae
Sumber: Disparekraf NTT