Penulis: Costa Ironi |
Tahun 2018 pada bulan Juli tanggal 19, penulis meningjakan kaki pertama kali di Surabaya. Kagum dan bingung menjadi disposisi batiniah saat itu. Gedung yang menjulang tinggi dan taman-taman yang menarik melatari kekaguman tersebut. Di sana juga penulis menjumpai orang-orang dari Aceh sampai Papua. Pandangan pertama ini akhirnya menjadi lakon penulis selama empat tahun. Sebuah petanda bahwa keseharian kita identik dengan jalinan relasionalitas yang memperjumpakan kita dengan yang lain. Misalkan, penulis sebagai orang Nusa Tenggara Timur merantau ke Pulau Jawa. Di sini, penulis hidup berdampingan dengan oran-orang dari Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sumba, dan Pulau Sulawesi.
Menjadi warga Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki ceritanya sendiri yang unik dan khas andaikata berada di tanah rantau. Pemerintah sering mengkategorisasikan Provinsi NTT dengan kategori 3T, yakni terluar, terdepan, dan terpencil. Kategorisasi semacam ini menandakan suatu hal, yakni keterbelakangan dari sisi budaya, ekonomi, sosial, dan simbolik. Tidak salah kalau citra diri inferior sering menghantui diri. Ada rasa minder, hilang kepercayaan diri, dan ketakutan ketika bertautan dengan teman-teman dari Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan Pula Sulawesi. Timbul rasa enggan untuk terlibat dalam diskusi yang mendalam soal fenomena politik, social, dan budaya tanah air dan global.
Belum lagi kenyataan di atas dipadukan dengan potret diri negatif yang diberikan kepada orang-orang NTT oleh masyarakat yang berbagi teritori dengan penulis, yakni debt collector, tukang tawur, dan tukang minum mabuk ini. Image ini tidak terlepas dari kelakukan teman-teman yang sering terlibat tawuran, miras tanpa henti, dan berbagai tindakan amoral lainnya yang mengganggu kenyamanan ruang publik. Lengkap sudah derita sebagai anak rantau. Melamar kerja atau mencari indekost ke mana-mana pasti sulit. Setiap orang yang mau memperkerjakan orang-orang NTT memiliki banyak pertimbangan karena amoralitas tadi.
Lengkap sudah penderitaan, yakni terasing dari keluarga dan terasing di tanah rantau tersendiri. Krisis eksistensial melanda nalar dan nurani. Hari-hari ibarat malam vigili yang panjang, yakni menantikan datangnya nasib baik. Dorongan untuk menjadi manusia yang melampaui (ubermensch) keterkondisian semacam ini menjadi problematika yang menyita waktu untuk nalar dan nurani merenungkannya, “Saya berusaha sekuat tenaga, jiwa, pikiran, dan raga, tetapi hasil yang kutorehkan masih berakhir nihil dan kadang terkesan absurd. Lakon kehidupan di panggung jadi kehilangan daya magisnya”. Sebuah derita yang mesti dituai ketika seorang individu adalah bagian dari sebuah komunitas yang tidak anonim. Ia memiliki nama dengan berbagai deskripsi yang entah diberikan oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat sipil. Benarlah ungkapan bahwa Nomen Es Omen. Setiap nama memiliki tanda. Berbicara tentang NTT, sudah mengandung di dalamnya 3T dan berbagai varian lain sebagaimana dikemukakan di atas.
Tanda ini terkadang menganimasi jiwa dari para pemilik nama tersebut. Sesuatu yang kemungkinkan adalah sebuah keniscayaan kala upaya untuk melampaui baik dan buruk tidak menjadi hasrat. Manusia pada dasarnya berakar pada kebiasaan yang dilakoninya sehari-hari sebagai bagian dari suatu kolektivitas. Pertanyaan yang kritis dan reflektif patut direnungkan bersama, “Bisakah kita melampaui apa yang dikatakan pemerintah dan masyarakat sipil tadi?” Sebuah pertanyaan yang mengundang para perantau dari NTT untuk merenungkan pola pikir dan praksis kesehariannya.
Tempat rantau seperti pulau Jawa sejatinya menjadi rahim untuk menumbuhkembangkan karakter dan struktur solial yang baru. Perjumpaan dan pembelajaran terhadap kebaruan dan keasingan yang dibawa liyan. Sejatinya, setiap liyan atau yang berbeda mengandung kekayaan etalase hermeneutis, etalase epistemologis, etalase etis yang dengannya kita menafsirkan dan memandang dan menata kompleksitas kehidupan di dunia ini. Kebiasaan ini pada akhirnya turut mengambil peran dalam membentuk pola pikir dan pola merasa dari individu yang bersangkutan. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa manusia membentuk kebudayaan dan kebudayaan pada akhirnya membentuk juga manusia. Perkembangan dan kemajuan manusia tidak terlepas dari dinamika hidup ini.
Idealism di atas dapat dihidupi ketika subjek mau melihat kekayaan di balik setiap kebaruan yang dijumpainya. Disposisi semacam inii memerlukan sebuah disposisi epistemologis yang tepat. Terminologi ini digunakan penulis untuk membahasakan cara pandang. Sebuah keyakinan dipegang teguh penulis bahwasannya cara pandang menentukan tindakan. Cara pandang yang benar, baik, dan indah dapat menentukan tindakan atau perilaku yang benar, baik, dan indah. Dalam domain ini, penulis menawarkan pemikiran Rorty sebagai sebuah etalase epistemologis untuk kita melihat diri sendiri dan memandang liyan.
Setiap Kosa Kata Akhir Terbatas
Rorty dikenal sebagai filsuf karena gebrakan atau dobrakan yang dibawanya ke dalam iklim berpikir filsafat. Ia lebih dikenal sebagai seorang neo-pragmatis. Term neo menunjukan bahwa ia membawa kebaruan tersendiri ke dalam dunia pragmatisme. Para pemikir pragmatis klasik seperti William James dan Jhon Dewey memfokuskan diri untuk mengelaborasi pengalaman dalam pragmatismenya. Rorty sendiri lebih menitikberatkan pada bahasa yang dengannya kita memaknai, mengevaluasi, dan merencanakan untuk bagaimana membangun dan membentuk masa depan. Tentu semangat utama pragmatisme yakni kebergunaan menjadi filter utama untuk merencanakan dan membangun masa depan.
Salah satu terminologi teknis khas Rorty adalah kosa kata akhir (final vocabulary). Rorty mendefenisikannya sebagai sebuah keyakinan yang dengannya kita menafsirkan keseharian dan kemenduaniaan kita setiap harinya. Kosa kata akhir ini bisa diwariskan dari keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat. Satu hal yang mesti dilihat saat ini adalah dunia digital. Penulis meyakini bahwa keintesan kita memasuki jagad maya perlahan-lahan akan turut mengonstruksi kesadaran dan praksis kehidupan kita. Bagi Rorty kosa kata akhir ini terbatas karena setiap pribadi dengan latar belakang yang berbeda tentu memilikinya tersendiri. Kenyataan antropologis ini menantang setiap orang untuk tidak fanatik dan fundamentalis dengan kosa kata akhirnya. Cirri khas individu yang demikian akan memandang remeh dan enteng potensi informatif, formatif, dan transformatif kehadiran yang lain (liyan) dengan seperangkan ide atau gagasan yang dengannya ia menafsirkan kesehariannya.
Kenyataan bahwa kita berbeda semestinya dipeluk sebagai sebuah kekayaan dan bahkan anugerah tersendiri dari Yang Maha. Perjumpaan dengan liyan menjadi momentum dialogis. Di sana terjadi pertukaran pendapat, gagasan, dan keyakinan. Dinamika ini akhirnya memperkaya subjek yang terlibat dalam silang pendapat dan gagasan dengan yang lain. Kerelaan untuk dimurnikan oleh kehadiran yang lain tentu menjadi sebuah keutamaan filosofis yang semestinya dihayati sebagai laku dan ngelmu tersendiri. Perjumpaan dan dialog ini tentu menjadi tanur yang memungkinkan subjek meredeskripsi atau mereinterpretasi dan memperkaya horizon hermeneutis dari kosa kata akhirnya. Transformasi terhadap diri dan praksis sehari-hari diharapkan menjadi telos yang mesti dihayati di setiap ajang dialog atau perjumpaan.
Penulis berada selama empat tahun di Yogyakarta sebagai seorang pencari kebijaksanaan. Sebagaimana dikemukakan di atas, Yogyakarta menjadi tempat persilangan budaya Nusantara. Hal ini dimungkinkan karena banyak orang muda menuntut ilmu ke sana. Banyak universitas yang berkualitas terdapat di sana. Misalkan saja, Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Universitas Atma Jaya, dan lain-lain. Di sana, penulis menjumpai manusia Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
Hampir setiap malam di waktu rekreasi, penulis sering berjalan menyusuri lorong-lorong pemukiman. Kebiasaan yang penulis lakukan untuk me-refreshing pikiran ketika situasi perkuliahan membuat lelah dan letih. Satu kenyataan yang penulis selalu inderai adalah bahwa hampir di setiap lorong pemukiman, penulis tidak menemukan orang-orang muda duduk bersilangan dan menikmati miras. Kadang penulis bertanya “Di manakah dan ke manakah mereka?”
Di lain kesempatan, penulis biasanya suka berkelana mengunjungi tempat-tempat makan seperti Warmindo, Angkiringan, Coffe, dan resto. Di sana penulis melihat banyak sekali orang muda. Mereka berkumpul di sana untuk mengerjakan tugas bersama bagi para mahasiswa, yang lain malah berkumpul untuk membicarakan situasi pekerjaan atau yang lain malah berkumpul untuk merencanakan bisnis dan orentasi hidup di masa depan. Sebuah konklusi sederhana diambil penulis, “Orang-orang muda tidak berkeliaran di lorong-lorong pemukiman karena mereka memikirkan dan merencanakan masa depan. Mereka berdiskusi tentang itu dan kemudian mengambil praksis yang dapat mewujudkannya. Situasi seperti ini tidak dijumpai penulis di daerah asal.
Kenyataan di atas menghentak penulis dan sebuah kebaruan yang penulis dapat adalah bahwa pertemuan atau ngobrol bareng di pojok-pojok kampung seharusnya menjadi momentum dialogis. Di sana terjadi tempat pertukaran dan persilangan ide, gagasan, kebiasaan, kebiasaan, cita-cita, pergumulan hidup, dan rencana hidup. Yang pasti bahwa terkadang ide yang satu saling bertolak belakang dan sulit diprediksi ke mana muaranya. Sebuah kenyataan lumrah dalam dialog. Semangat untuk menyimak dan menaruh empati tentu niscaya dibutuhkan. Rokok dan sopi tentu menjadi vitamin untuk menyemarakan ruang dialektika yang sedang dibangun. Di harapkan akhir dari kebersamaan tadi bukan terjadinya tawuran atau pemalakan, tetapi semangat baru dan pertanyaan baru yang dibawa untuk digumuli dalam kehidupan sehari-hari.
Gagasan Rorty soal keterbatasan setiap kosa kata akhir dapat dipakai sebagai semangat untuk membangun dan mewujudkan ruang dialog yang sehat. Reduksi terhadap gagasan epistemologis dan etis mungkin perlu dilakukan agar kita mampu memiliki keluwesan untuk menghargai dan menghasrati yang baru. Dengan demikian penulis meyakini bahwa kita mampu menepis secara perlahan-lahan berbagai stigma negatif yang dikenakan pada pundak kita sebagai warga provinsi Nusa Tenggara Timur.**